Orientalisme dan Kajian al-Qur’an J. Wansbrought

  1. Pendahuluan

Sebagai mahasiswa muslim dan tinggal di wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Islam, pemakalah dan mungkin kebanyakan teman-teman sesama mengakui masih sedikit menyimpan rasa curiga terhadap kajian-kajian yang dilakukan orientalis. Namun demikian, akan lebih bersahaja bila kita mempelajari tema-tema kajian yang mereka angkat dengan beberapa langkah akademis yang mendasari penolakan ataupun yang membuat mereka masih kurang mau menerima ajaran islam yang mana hal tersebut merupakan suatu bentuk pemerhatian khusus bahkan kadangkala mampu membuka mata demi tercapainya keterbukaan dan pemahaman terhadap studi keislaman khususnya.

Terlalu banyak manfaat yang bisa diambil dari khazanah orientalisme. Studi mereka tentang al-Qur’an, Hadis, dan sejarah Nabi merupakan bekal yang sangat berharga bagi kita untuk mengungkapkan misteri masa-masa awal sejarah Islam. Dengan metodologi dan standar akademi yang ketat, para ahli Islam dari Barat itu menggali hal-hal yang kerap diabaikan kaum muslim.

Studi mereka tentang sejarah al-Qur’an misalnya, sangat padat dan kaya dengan rujukan sumber-sumber Islam klasik. Penguasaan mereka akan bahasa Arab dan peradaban Mediterania membantu kita dalam mengeksplorasi hal-hal yang selama ini tercecer dalam tumpukan kitab-kitab klasik. Dengan bantuan para orientalis, kita dapat melihat secara lebih komprehensif lagi sejarah pembentukan al-Qur’an.

Dalam buku The Major Themes of the Qur’an disebutkan tiga tipe karya orientalis tentang al-Qur’an. Pertama, karya-karya yang ingin membuktikan keterpengaruhan al-Qur’an oleh tradisi Yahudi dan Kristen, kedua, karya-karya yang ingin mencoba untuk membuat rangkaian kronologis dari ayat-ayat al-Qur’an, dan ketiga, karya-karya yang bertujuan untuk menjelaskan keseluruhan atau aspek-aspek yang tertentu saja di dalam ajaran al-Qur’an.[1]

Atas dasar pembagian di atas, pada kesempatan kali ini, pemakalah lebih banyak mengomentari tipe pertama yang mana John Wansbrough sebagai tokohnya banyak menggunakan berbagai pendekatan dalam menyatakan bahwa al-Qur’an tidak lebih sebagai kitab biasa yang tak perlu dianggap suci.

  1. Pembahasan

Dalam menganalisis ayat-ayat al-Qur’an, John Wansbrough berkesimpulan bahwa ada keterpengaruhan Yahudi-Kristen, perpaduan antara tradisi dan al-Qur’an sebagai penciptaan post-profetik. Dalam melakukan kajiannya, ia menggunakan analisis histories, sebagaimana dilakukan oleh para orientalis sebelumnya dan literary analysis.

Secara umum karya John Wansbrough memberikan kritik yang tajam atas kenabian Muhammad dan al-Qur’an. Kenabiannya dianggap sebagai imitasi (tiruan) dari kenabian nabi Musa as. yang dikembangkan secara teologis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Arab. Al-Qur’an, menurut John Wansbrough bukan merupakan sumber biografis Muhammad, melainkan sebagai konsep yang disusun sebagai teologi Islam tentang kenabian.[2] Oleh karena itu, pemikiran yang dilontarkan John Wansbrough banyak berseberangan dengan pemikir lainnya baik di kalangan orientalis Barat maupun pemikir muslim.

Menurut Wansbrough al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan Tuhan kepada nabi Muhammad saw. merupakan kepanjangan dari kitab Taurat. Salah satu buktinya adalah pengambilan term setan. Akan tetapi, menurutnya isi-isi al-Qur’an kemudian dinaikkan derajatnya oleh umat Islam manjadi kitab suci yang bernilai mutlak. Dalam merujuk QS. Al-Shaffat, John Wansbrough memberi arti kata al-kitab/kitabullah yang ada dalam al-Qur’an dengan ketetapan (dorcee), otoritas (authority) bukan dengan kitab suci.[3]

Selanjutnya, dalam menafsirkan pengimanan muslim terhadap Muhammad—yang dianggap Wansbrough dengan memunculkannya anggapan kata-kata yang disinyalir sebagai tambahan dari nabi Muhammad—Wansbrough menganggap bahwa seperti kata qul dalam QS. Al-An’am (6): 15, al-Ra’d: 36, dan al-Ankabut: 52, kata tersebut sengaja disisipkan untuk menunjukkan  kebenaran wahyu Allah mengenai al-Qur’an. Kebenarannya justru menjadikan al-Qur’an tidak logis karena tidak sejalan dengan hegemonitas bahasa yang berlebihan.[4]

Adapun mengenai perjalanan Isra Nabi Muhammad yang disebut dalam al-Qur’an, John Wansbrough mengungkapakan bahwa informasi dalam al-Qur’an adalah tidak benar ,karena di dalam QS. Al-Isra: 1—menurut Wansbrough merupakan ayat yang menjelaskan perjalanan malam nabi Musa as. dan dimodifikasi oleh penulis al-Qur’an—menunjukkan adanya tambahan, hingga seolah-olah Muhammad sendiri yang melakukan perjalanan malam.

Pendekatan yang dilakukan oleh Wansbrough lebih jauh ungkap Rippin adalah skeptisisme, ketika menjawab pertanyaan yang diajukan mengenai ketidakpercayaan atas sumber-sumber Islam. Pandangan ini sama dengan John Burton yang memandang bahwa ada kontradiksi dalam sumber muslim tentang pengumpulan al-Qur’an.[5] Namun demikian pandangan seperti ini berbeda dengan pandangan yang telah berkembang jauh di Barat dan keyakinan muslim. Pendekatan histories dalam keislaman menimbulkan nilai yang berbeda tergantung bidang apa yang dikaji. Metode ini memiliki kelemahan di mana menampakkan sisi luar dari fenomena keagamaan yang dikaji dan tidak mampu mengungkapkan makna yang essensial dan substansial. Kekurangan tersebut sering juga didukung oleh ketidaktersediaannya sumber kajian yang lengkap dan sumber yang salah.

Adanya perbedaan pandangan tersebut disebabkan penggunaan biblical criticism. John Wansbrough menolak mushaf Usmani. Ia mengundurkan penulisan al-Qur’an selama tiga ratus tahun kemudian. Hal ini diidentikkan dengan kodifikasi perjanjian lama yang ditulis selama 900 tahun yang diambil dari tradisi lisan. Inilah tesis lain dari apa yang diungkapkan Wansbrough selain adanya perpaduan tradisi Yahudi dan Kristen dalam al-Qur’an.

Adapun metode literary analysis diterapkan John Wansbrough dalam menganalisis cerita-cerita yang diungkapkan dalam al-Qur’an. Menurutnya, adanya perbedaan cerita dalam al-Qur’an menunjukkan adanya perpaduan tradisi di dalamnya.

Beberapa pendapat John Wansbough di atas dikritik oleh Watt dengan mengatakan bahwa asumsi yang dilakukan adalah meragukan walaupun kajiannya dilakukan secara ilmiah. Penyanggah lain adalah Bucaille, ia menyetarakan Bibel dengan Hadis.[6] Sedangkan al-Qur’an tidak dapat disangkal keotentikannya dan telah ada dan telah ditulis sejak zaman nabi Muhammad saw. Dan dikumpulkan oleh sahabat-sahabat pada masa nabi hidup.

Sedangkan dari kalangan muslim, Fazlur Rahman mengungkapkan untuk mendapat latar belakang histories harus dicari dalam tradisi arab sendiri bukan pada tradisi Yahudi dan Kristen,[7] setelah sebelumnya menyatakan bahwa all religions are in history. Dari hal ini tampak bahwa al-Qur’an tetap transenden, tapi disesuaikan dengan masyarakat waktu itu.

Sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan interpretasi digunakan juga pendekatan fenomenologis. Upaya ini dipergunakan dengan tujuan mendapatkan esensi agama secara holistic dan totalitas. Kajian fenomenologis ini selanjutnya ada dua trend besar yaitu fenomenologi esensial dan konkret. Jika dihubungkan dengan kajian keislaman, keduanya akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Yang pertama menghasilkan monisme Islam dan pemahaman yang kedua menghasilkan pluralisme Islam.[8]

Untuk mengadakan pendekatan secara utuh, fenomenologis perlu dibantu pendekatan histories. Upaya ini banyak dilakukan oleh pemikir Barat seperti W. Montgomery Watt. Dalam kajiannya yang tetap mengakui adanya realitas yang metafisis dan otonom serta objektif. Dari sinilah kemudian memunculkan institusi dan ilmu pengetahuan.

Di samping beberapa kritik di atas, terdapat beberapa kritik lain terhadap John Wansbrough, terutama ketika magnum opusnya diterbitkan. Salah satunya adalah Issa J. Boullata. Ia mengkritik saat meresensi buku tersebut. Ia mempertanyakan keabsahan metode yang dipakainya. Apa yang dilakukan Wansbrough adalah seleksi bukan merupakan suatu representasi. Meski begitu tidak serta merta Wansbrough dinilai negatif bahkan mengacungi jempol atas metode yang dipakainya terutama dalam dimensi aksiologisnya, seperti Joseph van Ess.[9]

Dari beberapa pendekataan di atas, kiranya John Wansbrough telah melakukan berbagai metode studi al-Qur’an yang telah banyak digunakan oleh para Orientalis atau Islamolog Barat, baik sebelum maupun sesudahnya yang secara ringkas dinyatakan oleh Azim Naji sebagai berikut:[10]

  1. Metode Filologisme
  2. Metode-Pendekatan Historisisme
  3. Pendekatan Fenomenologi
  4. Pendekatan Historisme-Fenomenologis
  5. Dari pendekatan Objektif hingga Hermeneutika

  1. Kesimpulan

Kritik sejarah yang dilakukan dalam al-Qur’an menampilkan sosok al-Qur’an sebagai sesuatu yang histories dan non-historis. Al-Qur’an dikatakan histories karena ia merupakan jalinan kesinambungan wahyu Tuhan sebelumnya dengan adanya penyesuaian waktu dan tempat serta kondisi. Tampaknya dari sisi ini Muhammad Abduh menjadi justifikasi pandangan ini ketika mengemukakan teori evolusi wahyu di mana wahyu Allah yang sesuai dengan taraf kemajuan umat manusia dan kesempurnaannya adalah wahyu Muhammad saw. Sedangkan kajian al-Qur’an dalam bingkai non-historis mendapatkan hasil esensi wahyu yang berada di luar sejarah dan bersumber dari Tuhan.

Selanjutnya, bila kita mencoba dengan apa yang telah diungkapkan  Sahiron Syamsudin—perlunya pembuktian penyimpangan dalam al-Qur’an—sebagai salah satu respon dalam menyikapi orientalis, maka kita dapat mengambil kesimpulan seperti apa yang telah diungkapkan Fazlur Rahman bahwa tesis Wansbrough minim data histories mengenai asal-usul, karakter, evaluasi, dan individu-individu yang terlibat dalam tradisi. Al-Qur’an menurut Rahman hanya dapat dipahami secara kronologis dan antara satu dengan yang lainnya merupakan keutuhan. Dalam memperkuat argumennya Rahman memberikan ilustrasi tentang mukjizat dan komunitas yang berkembang akibat perbedaan waktu. Oleh karena itu, tesis John Wansbrough tersebut dibangun berdasarkan duplikasi dan repetisi dalam al-Qur’an.

Selanjutnya masih menurut Rahman, dalam menganalisis al-Qur’an tentang versi kisah Syu’aib, Wansbrough tidak menghayati tentang bentuk-bentuk kisah al-Qur’an. Adanya kisah-kisah yang berbeda itu merupakan suatu I’jaz tersendiri bagi al-Qur’an dan pengulangannya menunjukkan arti tersendiri. Pada masalah inilah kiranya Wansbrough sendiri belum mampu menghayati pendekatan fenomenologisnya, meskipun ia telah membaca teorinya.

Sependapat dengan M. al-Fatih Suryadilaga, lahirnya tuduhan-tuduhan yang dilancarkan oleh John Wansbrough di atas tidak didasari atas pemahaman Islam yang utuh. Oleh karena itu, pemikiran-pemikiran yang semacam ini dan yang berkembang banyak di kalangan Barat (orientalis) cenderung menimbulkan berbagai konflik antar agama. Hal ini tidak menunjukkan esensi keagamaan yang digagas dalam metode filsafat, di mana Popper telah memulainya dengan memetakan tiga dunia dalam bingkai epistemology dan tidak mengandalkan dirinya (agamanya) yang benar, yang lain salah.

Namun demikian, bagi yang merasa penganut Islam pun seharusnya tidak menjadi sang pengadil bagi penganut lainnya, lebih-lebih bila orang tersebut belum mengetahui benar ajaran agama lain untuk mampu melepaskan baju ideologis diri sendiri karena bisa saja hal itu menjadi seperti apa yang digagas Wansbrough—layak disebut bom atomnya Yahudi-Ktisten atas Islam—sebagaimana pemikir Islam yang telah membabat berbagai ketimpangan Kristen.


[1] Fazlur Rahman, Pendahuluan Tema Pokok al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996 M),(terj.) hal. xi

[2] Muhammad al-Fatih Suryadilaga, “Pendekatan Historis John Wansbrough Dalam Studi al-Quran”, dalam Abdul mustaqim dan Sahiron Syamsuddin (ed.), Studi al-Quran Kontemporer. Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2002, hal 213

[3]Ibid. hal 214

[4] Ibid, hal 214

[5] Ibid, hal 218

[6] M. Natsir Mahmud, Fenomenologi dan Aplikasinya dalam Studi Agama, dalam Uswah No. 8 tahun 1996 h.297-298.

[7] M. Alfatih Suryadilaga, Pendekatan Historis John Wansbrough dalam Studi al-Qur’an, mengutip dari Fazlur Rahman, Approach to Islam in Religious Studies, dalam Richard C. Martin, Approach to Religious Studies, (USA: The University of Arizona Press, 1985), h. 202

[8] M. Natsir Mahmud, Fenomenologi dan Aplikasinya dalam Studi Agama, h.167-168.

[9] Patricia Crone dan Michael Cook, “Hagarism: the Making of the Islamic World”, h. 3-9. dalam Issa J. Boullata (ed), An Anthology of Islamic Studies (Canada: McGill Indonesia IAIN Development Project, 1992), part. I, no.5

[10] Azim Naji, al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, h. 121

6 responses to this post.

  1. Assalamu’alaikum, Alhamdulillah dapat referensi lagi ne berkat tulisan anda..moga bermanfaat..klo berkenan kirim ke email ainaa yach.syukron jazil. wassalam

    Balas

    • Posted by ahamughny on Juni 18, 2010 at 06:06

      wassalam ‘alaikum, sama2..wuih enaknya kalo bs saling memberi
      smoga manfaat dunia akhirat y..
      wassalam

      Balas

  2. Posted by adon on Juli 18, 2010 at 04:18

    assalamualaikum,,,,
    salam kenal Kang Mughni
    wah respek nih ke kang Mughni tulisannya, tapi kang, kalw bisa nih, buat kita bareung-bareung, gimana kalw mengakaji tokoh tuh, kita langsung ke karyanya, jadi karya nya menjadi bahan primer, terus artikel yang membahasnya menjadi yang sekunder, agar terlihat otentisitas kebenaran pemikirannnya,,,,
    atur nuhun kang,,,,

    Balas

    • Posted by ahamughny on Juli 22, 2010 at 11:51

      waalaikm salam…….
      sama2… ya insalah k dpan dlam mngkaji tkoh akan dmikian…namun dlam mngkaji suatu prmasalhan trtentu mngkin penulis akan lbih memfokuskan masalh tsbut baru tinggal memlih tokoh mana yang penlis anggap militan dlam maslah tsb meskipun smber brasal dari artikel…makasih

      Balas

  3. Posted by Khairun Fajri Arief on Maret 3, 2011 at 06:57

    Sangat menarik

    Balas

Tinggalkan komentar